Akhirnya, pendidikan PPCPAK 2 selesai, ujian juga selesai, Alhamdulillah lulus, sekarang sisa tunggu penempatan. Dannnnnn yang membahagiakan lagi tiket ke Flores PP juga sudah ditangan :D.
Ini trip impian, sudah setahun silam direncanakan selalu gagal...gagal...dan gagal, tapi tidak kali ini.
Tempat pertama yang kami kunjungi itu Kab. Sikka, tepatnya Kota Maumere, pengen sih eksplor Maumere juga, apalagi pas diperjalanan ketemu junior kampus dan dia nawarin kita nginap di rumahnya, lumayan free. Tapi karena Maumere hanya tempat 'pendaratan' untuk melanjutkan perjalanan ke kota- kota eksotik lain di Flores, jadi kami tolak tawaran yang cukup menggiurkan itu. Oh ya, kali ini aku eksplor Flores hanya berdua dengan temanku, teman cewek, teman dari jaman SMP, teman SMA, eh kuliah sekampus lagi, sejurusan pulak! Ckckckck si Hartil ngintilin aku terus :D. Banyak yang takjub bercampur shock mendengar kami hanya berdua, wanita pula, ke Flores hanya untuk main, katanya kami nekat. Iya juga sih, tapi kalau dipikir- pikir, masa kami kalah sama cewek bule yang dari entah negeri mana , kita kan masih sama- sama dari Indonesia, masih satu Indonesia Tengah lagi!
Well...kita lanjuttttt ke perjalanan, dari Maumere ke Ende, mampir di Danau Kelimutu (ini akan kuceritakan di tulisan berikutnya) dan selanjutnya di Ruteng, Kabupaten Manggarai. Nah, yang kumaksud 'surga tersembunyi' itu ada di sini, Perkampungan adat Wae Rebo!. Yupp.....karena waktu terbatas jadi destinasi kita pilih-pilih secermat mungkin, demi ke Wae Rebo kami rela menunda ke Pulau Komodo, padahal katanya nggak afdol ke Flores kalau belum ketemu komodo, ah bodoh amat, kami ada pertimbangan tersendiri. Pulau Komodo letaknya di ujung barat Pulau Flores, lumayan dekat dari Makassar, kapan- kapan kalau ada duit bisalah ke Flores lagi special ke Pulau Komodo, bahkan bisa menggunakan libur akhir pekan. Nah, Wae Rebo ini letaknya di tengah- tengah Flores, jadi kalau kami tunda ke sini nanti kalau mau ke sini lagi membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang lebih juga. Iya kan? :D
Tanggal 5 September kita sampai di Kota Ruteng, Kabupaten Manggarai. Perjalanan dari Kota Ende kita tempuh selama kurang lebih 7 jam dengan menggunakan bus. Kami sempat mampir di Nangaroro, Kabupaten Nagekeo untuk bertemu dengan teman di jaman bangku kuliah (seolah- olah tua padahal baru lulus 2 tahun,ha ha). Rofinus (teman kami) memberi wejangan alur perjalanan mengenai tempat- tempat yang akan kami kunjungi. Lumayan, bayangan tentang tempat- tempat itu jadi semakin jelas. Asyik banget, tempat kami ngobrol viewnya keren, pantes ada beberapa bule yang mampir buat foto- foto. Orang sana menyebut tempat ini 'Puncak Nangaroro'.
Puncak Nangaroro |
Sesampai di hotel kami ibadah sholat magrib dulu, setelah itu berjalan- jalan di Kota Ruteng untuk lihat- lihat keadaan sekaligus mencari makan, terakhir makan kemarin malam di Kota Ende, menyedihkan ya, hiks... habis bus nya nggak mampir- mampir makan, jadi kami ala- ala bule hanya makan roti dan minum susu. Untung di kota ini terdapat cukup banyak warung Padang, Alhamdulillah bisa balas dendam :D. Kami sempat nyasar- nyasar, salah blok, pas nyadar kok jauh banget belum nemu warung Padang, padahal tadi waktu diantar sopir bus ke hotel, tidak jauh dari hotel banyak berjejer warung Padang. Setelah mutar- mutar sampai nemu pasar malam, kami putuskan bertanya saja, lapar membuat navigasi kami memburuk :D, daripada menjadi korban malu bertanya sesat di jalan terlalu lama, mending bertanya secepatnya. Berdasarkan petunjuk dari seorang bapak akhirnya kami sampai juga di warung Padang. Karena mau makan kalap (kan mau balas dendam :D) jadi makan malamnya dibungkus saja. Setelah membeli makan malam kami mampir membeli perbekalan buat besok ke Wae Rebo, sialnya lagi kami bawa uang pas- pasan, dompet sengaja ditinggal di kamar, alhasil kami belanjanya hati- hati sekali, malu kan pas dikasir uangnya nggak cukup,heheh.
Proses balas dendam (makan malam :D) selesai, kami sholat dulu dan langsung istirahat. Oh ya, supaya istirahat optimal tanpa gangguan, kami sepakat mematikan HP masing- masing. Mungkin faktor lelah dan suhu Ruteng yang lumayan dingin kami terlelap denagn cepat.
Keesokan harinya terbangun saat alarm kami berbunyi mengingatkan sholat subuh telah tiba. Setelah sholat, walaupun udara dingin menusuk- nusuk, terpaksa saya beranikan diri untuk memulai mandi duluan. Pukul 07.30 kami sudah siap untuk check out dan menuju ke terminal Ruteng untuk menunggu bus yang bisa menagntar kami ke Wae Rebo.
Dengan naik ojek Rp. 10.000 kami sampai di Terminal Kota Ruteng. Wah, ramai juga terminalnya. Dari informasi yang kami dapatkan, kendaraan yang menuju Wae Rebo hanya sekali berangkat dalam sehari, makanya kami mending menunggu di terminal daripada ketinggalan. Dan katanya angkutan umum yang ke Wae Rebo hanya truk yang dimodifikasi diberi tempat duduk jadi kami sempat ragu pas ada kernet bus yang menawari kami ke Wae Rebo, aduh jangan sampai salah angkutan, setelah meyakinkan beberapa kali bahwa bus ini benar- benar ke Wae Rebo kami baru mau naik ke bus, wajar kan harus waspada :D. Untung tidak menunggu penuh dan bus ini berangkat. Alhamdulillah bisa lebih cepat sampai di Wae Rebo. Bye... bye... Terminal Kota Ruteng, besok Insha Allah kami datang lagi.
Gerbang depan Terminal Kota Ruteng (tuh kelihatan kan truk modifikasi yang aku maksud tadi) |
Tinggi....tinggi sekali...
Nah, itu tema perjalanan menuju Wae Rebo. Pemandangannya asri, indah sekali. Gunung di sana- sini, tapi beeeeehhh......jalur jalannya itu lho! Kayak labirin ular yang berkelok- kelok. Sejak dari Maumere jalannya memang seperti, kata sopir di Maumere, Pulau Flores dijuluki pulau ular karena jalannya yang berkelok- kelok. Bahkan ada tempat sebelum daerah Aimere (lupa kabupaten mana, kayaknya Kabupaten Ngada) yang dinamai tikungan seribu. Jalur yang seperti itu serasa tidak berefek karena pemandangan yang luarrrrrrr biasa. Saya sempat cemburu, kenapa daerah saya tidak seindah Flores, Tuhan seperti menjatuhkan segala keindahan di Flores, hehehhe.
Setelah 2 jam perjalanan saya menanyakan kepada sang sopir kapan kita tiba di Wae Rebo, dan katanya 'Masih jauh Nona!' sambil tersenyum. Appaaaa? Masih jauh? Saya sempat shock, untung teralihkan dengan pemandangan yang indah. Setelah mendaki gunung lewat di lembah, kita tiba- tiba sampai di pantai. Masya Allah, kurang apa lagi, di sini semuanya ada. Pantainya tidak berpasir tapi bebatuan, bersih tidak ada sampahnya. Katanya ini Pantai Dintor. Tidak sampai di situ, kami tambah histeris waktu kami melihat pulau, ah..benar- benar indah tempat ini. Pulaunya beda denagn pulau yang biasa kami lihat, pulau itu menyerupai batu raksasa indah yang tenggelam di lautan, aduh susah kujelaskan dengan kata- kata. Kami sempat berhenti sejenak, karena ada penumpang yang mau beli ikan, anugerah bagi kami bisa narsis dulu dengan latar Pulau Mules (nama pulau yang mengagumkan tadi). Cekidottt....
Pulau Mules aka Nuca Molas |
Kita move on dari Pulau Mules dan melanjutkan perjalanan ke tujuan utama, Wae Rebo!. Setelah disuguhi pantai dan Pulau Mules yang menyita hati, kembali lagi kita disuguhi hamparan pegunungan di mana di kaki gunung terdapat persawahan warga, ah indah sekali. Tadi ada penginapan di tenagh sawah yang ada tulisan Wae Rebonya, pasti Wae Rebo sudah tidak jauh dari sini, pikir saya. Karena terbius pemandangan yang indah tidak terasa (sebenarnya sih berasa :D) kita sudah sampai di Wejang Asih, tempat peristirahatan sebelum melanjutkan perjalanan ke Wae Rebo. Kami pikir ongkos bus ini standar Rp. 100.000 bahkan lebih saking jauhnya, hampir 5 jam perjalanan, eh ternyata Rp. 60.000, Alhamdulillah, baik sekali orang ini padahal kalau dia bilang lebih kita pasrah saja dan bisa saja dia menipu kami. Terimakasih sopir yang baik, kamu manis deh :D. Karena sopir bus yang baik ini, kami menanyakan besok dia lewat jam berapa untuk berangkat ke Kota Ruteng, waowwwwww dia lewat Wejang asih jam 2 - 3 dinihari, saya merasa pesimis bisa menjangkaunya. Baiklah, lihat besok saja, yang jelas kami pesan dulu kalau dia lewat untuk mengecek kami di wejang Asih.
Istirahat sejenak di Wejang Asih dan melaksanakan shalat dhuhur dijama' azhar karena akan melakukan perjalanan jauh. Di sana kami disuguhi kopi manggarai, mungkin karena saya bukan penikmat kopi jadi saya tidak mengerti bedanya dengan kopi dari daerah lain, tapi enak. Kami disarankan untuk menyimpan barang- barang yang kiranya tidak digunakan di Wae Rebo sehingga meringankan beban kami, mengingat untuk menjangkau Wae Rebo, kami harus mendaki sekitar 3-4 jam, bahkan Ibu Wejang Asih mematok waktu yang lebih lama buat kami, aduh Ibu belum kenal kami sih :D, bukannya sombong, Insha Allah karena kami sudah terbiasa dengan pendakian kami kayaknya bisa kok ke sana dengan target 3-4 jam. Apalagi katanya kami hanya berdua sesama wanita tanpa dampingan guide lokal. Kami memang sengaja tidak menyewa guide lokal, karena hasil wejangan Rofinus katany ajalurnya sangat jelas, jadi aman (dan untung
nggak ambil guide :D). Di Wejang Asih kami bertemu 2 orang wisatawan lokal (sebenarnya sih yang satu bule, tapi bule WNI, indo gitu) yang mereka berdua cewek juga, jadi buat kita why not?. Dan saat kami mau berangkat datang seorang bule cowok, sombong banget dia cuma mau ngobrol sama cewek indo itu, huuuuuu dasar.
Ah, lupakan bule songong itu mari pamitan ke Ibu Wejang Asih dan 2 cewek tadi dan mulai petualangan yang sebenarnya :D. Jalan menuju ke Wae Rebo, sama dengan jalan kalau kita mau mendaki gunung. Tapi ada beberapa pekerja yang sedang melakukan pekerjaan jalan, wah jangan sampai mau dibeton sampai Wae Rebo, ckckkckc sudah tidak seru dong!. Jalan semakin mendaki, jalan terdiri dari jalan pengerasan. Ini nih jalannya, maaf ya ada objeknya, lupa moto jalanannya saja :D.
Jalan pengerasan menuju Wae Rebo |
Setelah merasa sudah fit kami melanjutkan perjalanan. Semakin mendaki dan jalan semakin menyempit. Kami bertemu beberapa orang warga Wae Rebo yang hendak ke Desa. Mereka kaget juga melihat kami berdua tanpa guide, kami hanya senyum- senyum. Tidak lama kemudian kami bertemu dengan wistawan yang sudah turun gunung dari Wae Rebo, saya lupa mereka dari mana, he hehe.... Kita semakin berada di ketinggian, mulai kabut. Mungkin di tempat ini rawan jadi diberi pagar besi.
Jalan yang diberi pagar besi |
15 menit kami berjalan kami mendapati si songong, dia terengah- engah. hahahahha tadi dia mungkin kelelahan tapi gengsi mau istirahat.
Ajaib! Dia senyum. Aduh, seperti luluh, akhirnya kami mengobrol. Terjawab sudah, si bule kira kami tidak bisa bahasa Inggris (nggak bisa- bisa amat sih, tapi nyambung kok diajak ngomong, hehehe) jadi dia cuma ngajak ngobrol cewek indo di Wejang Asih tadi. Baiklah, karena kamu manis dan sopan juga, apalagi saat dia tahu kalau kami sudah lulus kuliah, dia sangat sopan karena ternyata kami lebih tua darinya. Dia dari Jerman dan saat ini dalam setahun akan menetap di Australia. Kami melanjutkan perjalanan dan akhirnya sampai di sebuah bangunan, dari sini sudah terlihat bangunan unik rumah adat Wae Rebo, orang menyebutnya Mbaru Niang yang artinya rumah kerucut. Sebelum diterima sebagai tamu kita dilarang mengambil gambar.
Mbaru Niang dari kejauhan |
Senangnya bukan main, kami langsung menyerbu ke arah Bapak tadi ke Mbaru Niang yang paling besar, rupanya Bapak ini Pemuka Adat yang bertugas menerima tamu. Setelah masuk ke dalam Mbaru Niang (celingak- celinguk melihat isi rumah) kami dipersilakan duduk dan mendapatkan 'ceramah' kenapa tidak memukul kentongan bambu yang sudah disediakan. Kami bilang kami tidak tahu, kata Bapak kentongannya ada di bangunan yang di atas (Oh, tempat kami berunding tadi dan mencari kentongan itu, tapi nggak ketemu- ketemu). Kami refleks bertanya ini itu tentang Wae Rebo, dan Bapak bilang kita harus minta izin dulu ke arwah leluhur Wae Rebo baru bisa tanya- tanya dan foto- foto. Kita diharuskan membayar biaya penerimaan tamu, seikhlasnya tapi kami kemarin dimintai Rp. 50.000. Setelah kami membayar si Bapak teriak- teriak dalam bahasa Manggarai, katanya Bapak itu meminta izin kepada arwah leluhur Wae Rebo untuk mengizinkan kami diterima di Wae Rebo dengan menyebutkan nama kami masing- masing dan asal daerah kami.
Dan terjadilah sesi tanya jawab. Setelah puas bertanya, oleh Ibu di Mbaru Niang inti tadi kami diarahkan ke Mbaru Niang yang lainnya yang dikhususkan untuk tamu.
Mbaru Niang |
Saya sangat kedinginan sampai- sampai menggigil, denagn sigap bule yang tadinya saya bilang songong memberikan jaket miliknya, katanya dia tidak membutuhkannya. Kaget juga, ternyata bocah ini baik hati dan ganteng rupawan,hahahha. Setelah saya pakai jaket si bule saya merasa baikan. Kami mengobrol tentang diri masing- masing sambil menunggu teman saya yang ke kamar kecil. Sempat menggigil lagi, si bule meraih tasnya, ternyata dia punya stok 2 jaket, dan dia memberikannya lagi buat saya. Ah, baik sekali, tadi sempat salah paham. Dengan 2 jaket ditambah 2 selimut saya merasa nyaman sekali :D. Setelah teman saya datang, kami putuskan mengisi malam ini dengan main kartu dan saling bertukar kisah hidup. Setelah beberapa kali sesi main kartu akhirnya kami mengakhirinya karena harus beristirahat karena pagi- pagi kami sepakat bersama- sama turun gunung. Dan sebelum tidur jangan lupa shalat Isya :D. Rombongan bule yang satu masih asyik bercengkrama denagn guide lokal mereka sambil merokok menghangatkan badan.
Alarm berbunyi, 05.15 WITA.. Setelah sholat subuh kami melihat seisi guest house, masih terlelap dengan mimpi masing- masing. Jadi kami duduk- duduk melihat gaya tidur setiap orang. Mau keluar masih agak gelap. Sebenarnya tidur saya semalam juga tidak nyenyak dan sering terbangun. Sembari menunggu matahari kami merapikan barang bawaan kami, supaya saat hendak pulang tidak terlalu banyak yang mesti dibenahi. Matahari sudah mulai menyeruak, sudah agak terang di luar sana, kami putuskan untuk melakukan sesi pemotretan,hahahahha.....sebelum penghuni guest house yang lainnya bangun, kan kita nggak konsentrasi nanti pemotretannya :D.
SELAMAT PAGI WAE REBO!
Mbaru Niang |
Indah sekali, Wae Rebo benar- benar surga yang tersembunyi. Butuh perjuangan besar untuk bisa melihat surga tersembunyi ini. Warganya masih memegang teguh peraturan adat sehingga kehidupan mereka sangat harmonis. Ah, beruntungnya kami bisa melihat langsung surga ini. Andaikan kami punya banyak waktu akan kami sempatkan untuk berkeliling sekitar Wae Rebo yang asri ini. Semua pengorbanan dibayar lunas. Suatu saat jika diberi kesempatan, bolehlah ke sini lagi. Semoga Wae Rebo tetap terjaga keasliannya, semoga tidak terusik dengan dunia luar. Semoga pembangunan jalan yang kami jumpai kemarin hanya sekedar mempermudah akses menuju hutan, jangan sampai dibangun jalan sampai di Wae Rebo, memang tujuannya bagus, wisatawan dipermudah aksesnya menuju Wae Rebo, tapi saya lebih senang Wae Rebo yang sekarang ini.
Setelah puas dengan sesi pemotretan, kami kembali ke guest house. Tamu dari instansi pemerintah sudah bangun, sepertinya mereka bersiap untuk melanjutkan tugas mereka, melakukan survei untuk rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga hidro. Rombongan bule Prancis juga sudah bangun, teman kami yang bule Jerman juga sudah bangun, bahkan dia sudah berkemas. Tidak lama Mama- mama (panggilan untuk orang tua perempuan) datang menyiapkan sarapan buat kami. Tidak ketinggalan kopi Manggarai :D. Selesai sarapan Teman kami pamit duluan, dia mau berangkat bersama kami, tapi kami belum siap- siap dan dia mengejar waktu karena harus berkendara selama 7 jam untuk sampai Labuan Bajo. Hati- hati kawan, semoga bertemu di Labuan Bajo.
Tidak lama sepeninggal orang Jerman itu, kami juga bersiap- siap berangkat. Tadi saya sempat menguping kalau bule Prancis akan menyewa mobil ke Ruteng, jadi sebelum berangkat saya tanyakan kebenarannya, lumayan kalau bisa sharing cost, mengingat di sini semua serba mahal. Dan kami sepakat untuk menyewa mobil bersama sampai Kota Ruteng. Kami berdua berangkat duluan, kami sepakat bertemu di Wejang Asih. Setelah membayar biaya penginapan sebesar Rp. 250.000/org/malam kami memulai perjalanan.
Di Wae Rebo juga terdapat perpustakaan yang bangunannya juga berbentuk mbaru niang, kami tidak sempat ke sana karena harus bergegas pulang. Tidak lupa kami sempatkan mampir di bangunan di atas sebelum masuk Wae Rebo, mencari kentongan bambu yang membuat kami penasaran, astagaaaaaa.....kentongannya ada kok! Bisa- bisanya kemarin kami tidak melihatnya. Mungkin karena capek jadi kami tidak teliti.
Kalau kemarin perjalanan ke Wae Rebo kami tempuh selama 3,5 jam, untuk perjalanan pulang kami hanya membutuhkan waktu tidak sampai 2,5 jam itupun beberapa kali beristirahat menikmati pemandangan. Sepanjang perjalanan pulang kami juga berpapasan wisatawan lokal kurang lebih 10 orang yang baru naik ke Wae Rebo. Sesampai di Wejang Asih, belum istirahat, kami dapat kejutan. Di sana ada 2 tukang ojek yang menunggu kami. Kata Ibu Wejang Asih kami kemarin minta dipesankan ojek, padahal Ibu Wejang Asih kemarin menyampaikan kepada kami kalau tidak ada bus ke Ruteng bisa naik ojek bayar Rp.200.000, kami tidak mengiyakan. Ya mau dikata apalagi, padahal kita sudah dapat teman untuk carter mobil, terpaksa kita kembali ke Kota Ruteng dengan naik ojek Rp.200.000. Lain kali semuanya harus diperjelas supaya tidak terjadi salah paham :D. Pelajaran lagi.
Karena shock saya sudah malas mandi, nanti saja sekalian di Labuan Bajo. Padahal saya kemarin di bus kehilangan uang :(, terpaksa saya menceritakannya ke Ibu Wejang Asih.. Ibu Wejang Asih kasihan jadi dia tidak memungut biaya dari kami untuk kopi Manggarai yang kami minum dan biaya penitipan barang.
Sudahlah, lupakan yang buruk- buruk, toh kita sudah disuguhi surga yang tersembunyi. Setelah melaksanakan sholat dhuhur kami pamit ke Ibu Wejang Asih.
Perjalanan ke Ruteng menggunakan ojek kami tempuh selama 3 jam. Sampai di Ruteng kami minta diantar ke terminal untuk mencari bus tujuan Labuan Bajo. Alhamdulillah busnya belum berangkat.
Besok hari terakhir di Labuan Bajo sebelum kembali ke Makassar. Semoga ada kisah lebih indah di sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar