Pengikut

Jumat, 26 September 2014

Amazing Kelimutu *Eksplor Flores*

Tidak salah saya memilih tempat ini..
Tidak salah begitu ngotot dan kekeuhnya saya mau ke sini..
Dan pilihan ini benar- benar tepat.
Flores, pulau eksotik dengan segala keindahan alam. Tuhan seperti menjatuhkan segala keindahan di sini. Dari ujung barat sampai timur Flores, semua memesona, membuat nafas terhenti sejenak. Masya Allah......Bali, Wakatobi juga indah, tapi tidak tahu kenapa saya begitu terkesan dengan pulau ini walaupun sempat mengalami hal yang tidak nyaman di pulau ini, keindahan alamnya menghapus segala ketidaknyamanan itu. Kalau kemarin- kemarin saya sudah bercerita panjang lebar mengenai Wae Rebo (http://haliotisquamata.blogspot.com/2014/09/surga-tersembunyi-eksplor-flores-wae.html), maka sekarang saya akan bercerita pengalaman saya mengunjungi Danau Kelimutu. 

Danau Kelimutu yang berdampingan
 
Danau Kelimutu berada di Gunung Kelimutu yang secara administratif terletak di Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende. Danau Kelimutu terdiri dari 3 danau yang memiliki warna yang berbeda- beda dan berubah- ubah pada periode waktu tertentu. Konon, perubahan warna Danau Kelimutu menggambarkan keadaan alam Flores. Awalnya saya mengira kalau Danau Kelimutu letaknya tidak jauh dari jalan utama, ternyata saya salah,hahaha. Saya melakukan perjalanan ke Danau Kelimutu berangkat dari Kota Maumere dengan menaiki travel dengan biaya Rp. 300.000, perjanjian awalnya sih Rp. 250.000, eh pas sampai tujuan tarifnya dinaikin seenak jidat (ini salah satu hal tidak mengenakkan yang saya alami, lupakan bisa merusak suasana Danau Kelimutu yang indah).
Perjalanan dari Maumere - Danau Kelimutu kurang lebih 5-6 jam.


Gapura menuju Danau Kelimutu
Setelah mendapati pos jaga Dinas Kehutanan kita harus melapor dahulu sekaligus membeli tiket masuk Danau Kelimutu. Untung Adam Levine tidak ikut, kalau ikut bisa tekor saya bayarin tiketnya,hehehe...... Untuk wisatawan lokal kita harus membayar tiket Rp. 5.000/org pada hari kerja dan Rp. 7.500/org untuk akhir pekan dan hari libur. Cukup terjangkau bukan? :D. Sedangkan wisatawan asing harus membayar Rp. 150.000/org pada hari kerja atau Rp. 225.000/org pada akhir pekan/ hari libur.  Adil sih menurut saya :D. Beda lagi tarif untuk rombongan pelajar, baik pelajar lokal maupun pelajar mancanegara.


Tarif tiket masuk Danau Kelimutu


Tiket sudah ditangan, sekarang kita melanjutkan perjalanan. Awalnya saya kira mobil diparkir di tempat pembelian tiket, dan danaunya tidak jauh dari loket, ternyata masih cukup jauh ke dalam jika ditempuh dengan jalan kaki. Pantas saat saya menoleh ke sana- sini tidak ada tanda- tanda danau sekitar situ :D. Di sepanjang jalan kami melihat beberapa wisatawan mancanegara yang berjalan kaki lengkap dengan carrier di punggung, luar biasa kalau mereka jalan kaki dari jalan utama menuju Danau Kelimutu, Bule.......kalian luarrrrrr biasa!. Olahraga apa hemat ya? hahahahhaha. Akhirnya kami sampai juga di tempat parkir yang sebenarnya. Di sana terdapat 2-3 warung tempat istirahat dan sekaligus  menjual oleh- oleh khas Flores, serta terdapat toilet umum yang cukup bersih.

Kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, saya sudah tidak sabar melihat danau menakjubkan secara langsung. Walaupun masih cukup kelelahan setelah melewati perjalanan panjang Makassar - Maumere, Maumere - Kelimutu, saya tetap semangat, apalagi jalannya sudah sangat bagus, anggap saja menaiki tangga rumah, hehehe. Jalur juga sangat jelas, karena petunjuk arah di beberapa titik, jadi jangan takut tersesat. Saya mulai mleihat banyak wisatawan, macanegara maupun lokal yang sedang berfoto- foto. Pemandangannya indah sekali, mana udaranya sejuk. Bahkan ada cukup banyak kera ekor panjang yang menyambut. Lucu sekali mereka.

Kera yang menggemaskan
Sekarang kita sudah tidak melewati tangga lagi, jalan sudah landai dengan vegetasi pohon pinus.  Walaupun panas matahari mulai menyengat tapi udara terasa sejuk. Di beberapa titik terdapat pendopo peristirahatan. Tidak jauh dari 'penyambutan' kera- kera menggemaskan tadi di sebelah kanan sudah nampak danaunya, yaitu dua danau yang berdampingan. Di sana sedang padat wisatawan yang berfoto, jadi saya putuskan untuk naik dulu ke puncak Kelimutu dan melihat danau satunya yang terletak terpisah.
Masing- masing danau ini meiliki nama tersendiri, yaitu: Tiwu Ata Polo, Tiwu Nuamuri Koofai dan Tiwu Ata Mbupu. Setelah melewati dua danau yang berdampingan, kita melewati lokasi yang biasa digunakan sebagai lokasi pelaksanaan upacara adat, saya tidak mendapatkan informasi kapan biasa dilakukan upacara adat karena saya tidak menjumpai petugas.


Lokasi pelaksanaan upacara adat 'Patika'

Karena penasaran mengenai upacara adat ini maka saya mencarinya diinternet. Berdasarkan hasil googling,  Upacara adat Patika merupakan upacara adat memberi makan arwah para leluhur. Upacara ini dilaksanakan setiap tanggal 14 Agustus, diikuti oleh desa dan komunitas yang bermukim di sekitar Danau Kelimutu. Wah sayang sekali, andaikan sebelumnya saya mengetahui informasi mengenai upacara adat ini, saya akan datang pada saat itu. 
Well, kembali lagi ke perjalanan saya menuju Puncak Kelimutu. Setelah melewati lokasi upacara ada tadi, kembali perjalanan mulai mendaki, jangan khawatir, karena kita trekkingnya naik tangga kok :D.
Allahuakbar!. Pemandangannya indah sekali, gersang- gersang gimanaaaaa.......gitu! dan berasa ada di manaaaaaa gitu!
Jalan menuju Puncak Kelimutu

Keren kan ?. Pokoknya sepanjang perjalanan mantap dah, tidak boleh ada spot yang terlewatkan. Rencananya sih, sebelum ke Danau Kelimutu mau ganti pakaian dulu supaya 'pemotretannya' lebih mantap, tapi karena terburu- buru ya sudah. Foto di atas view kalau dari bawah mau naik ke puncak Kelimutu, view dari arah sebaliknya juga nggak kalah keren lho. Tidak begitu terasa capek karena tidak terlalu mendaki dan juga sepanjang perjalanan yang menakjubkan, jadi senua kelelahan menguap begitu saja :D. Suatu saat saya mau ke sini dengan Adam Levine terkasih, hahahaha. Masih terbius denagn segala keindahan Kelimutu, tidak terasa saya sudah sampai di danau yang terletak sendiri sebelum puncak Kelimutu.
Tiwu Ata Mbupu


Danau yang letaknya terpisah dengan dua danau lainnya disebut Tiwu Ata Mbupu yang menurut kepercayaan warga lokal adalah tempat berkumpulnya arwah- arwah orang tua yang telah meninggal. Tiwu Ata Mbupu memang berbeda dengan dua danau lainnya, disekitar danau ini ditumbuhi pepohonan, dan saya merasa danau ini seperti terlihat muram, apa karena ditinggal sendirian ya, heheheh.  Saya jarang sekali melihat orang- orang yang mempublikasikan foto mereka saat di Danau Kelimutu dengan latar danau ini. Seperti yang saya katakan sebelumnya bahwa ketiga Danau Kelimutu mengalami perubahan warna pada periode waktu tertentu, dan interval waktu berubahnnya tidak pasti. Puas menyaksikan Tiwu Ata Mbupu yang sendirian, saya melanjutkan perjalanan ke puncak Kelimutu tentunya. Jaraknya sudah sangat dekat dari sini.


Tugu di Puncak Gunung Kelimutu




Wah...ternyata di puncaknya juga ada tugu, seperti puncak gunung pada umumnya, bertambah satu lagi dong puncak yang saya pernah datangi :D. Sayang saya datangnya bukan saat golden moment saat matahari terbit, pasti indah sekali. Gara- gara sopirnya yang mampir tidur, yaa demi keselamatan juga sih, tapi kan saya sudah bilang saat mau berangkat kalau saya mau lihat sunrise di Kelimutu, mana jadwal tiba saya di Maumere sudah saya sesuaikan, jadi kalau sampai Danau Kelimutu pas dapat sunrise. Sudahlah, mungkin suatu saat saya harus kembali ke sini untuk menikmati sunrise.
Dari puncak kelihatan ketiga Danau Kelimutu. Tapi dari puncak paling bagus berfoto denagn latar dua danau yang berdampingan. Di puncak ada yang jualan lho!. Yang dijual di sini kain tenun khas Flores yang bisa dijadikan oleh- oleh. Harganya juga wowww, Rp. 500.000/lembar untuk kain dan ada sih yang cukup murah Rp. 85.000/ lembar untuk syal. Dan saya tidak membeli satupun :D. Selain harganya yang fantastis, saya pikir saya juga tidak membutuhkannya, karena salah satu alasan saya jika membeli sesuatu yaitu barang tersebut harus memiliki manfaat bagi saya. Walaupun matahari sudah cukup menyengat, tidak mengurangi antuasias saya untuk foto- foto dulu sepuasnya. Saya tidak sendiri, banyak saingan jadi musti sabar ngantri juga supaya lebih optimal, tidak seru kan jauh- jauh ke Danau Kelimutu tapi fotonya tidak memuaskan,hehehe.

Dari puncak Kelimutu terlihat jelas Tiwu Nuamuri Koofai yang berwarna hijau. Danau ini warnanya juga tidak tetap. Berubah pada periode waktu tertentu. Tiwu Nuamuri Koofai diyakini merupakan merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa muda-mudi yang telah meninggal.

Tiwu Nuamuri Koofai

Pemotretan di puncak selesai, sekarang saya sudah mau kembali ke tempat parkir tadi, tapi mampir dulu dong di dua danau yang berdampingan, mau foto dari jarak dekat. Bye...bye.... puncak Kelimutu semoga bisa lagi berkunjung, dengan My Adam Levine,hahahahhaamiin :D. Perjalanan pulang kembali melewati Tiwu Ata Mbupu yang sendirian, dan dari sini viewnya juga bagus.

Jalan turun
Tuh...keren kan, tidak kalah viewnya saat naik ke puncak tadi. Ayooo kita pemotretan dulu di sini :D.
Kewajiban (foto- foto sudah dilakukan) jadi perjalanan dilanjutkan. Sekarang kita melihat dua danau yang berdampingan lebih dekat, tapi dari arah sini yang terlihat jelas Tiwu Ata Polo. Saya sangat....sangat....ingin berdiri tepat di bibir danau, tapi tanda larang keluar dari jalur terpampang di mana- mana, kecuali kalau saya buta huruf pasti saya akan berlari kegirangan menuju danau. hehehe. Hal ini dilakukan demi keselamatan kita sendiri. Jangan sampai tanah pijakan sekitar bibir danau labil dan kita bisa terperosok masuk ke dalam danau, wuihhh naudzubillah. Danau Kelimutu memang indah, indah untuk dipandang saja, tidak untuk masuk ke dalamnya :D.


Tiwu Ata Polo

Tiwu Ata Polo diyakini merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dan selama ia hidup selalu melakukan kejahatan/tenung, pantas ya  warnanya gelap seperti itu :D. Tiwu Ata Polo berdampingan dengan Tiwu Nuamuri Koofai. Konon, dinding pembatas keduanya ketebalannya juga berubah- ubah loh!. Ini kata warga yang saya jumpai di Ende (nanti akan saya ceritakan juga pengalaman di Ende pada tulisan berikutnya). Katanya, dindingnya kadang tebal dan kadang bisa setipis kertas. Ternyata tidak hanya warna ketiga danau yang berubah- ubah, ketebalan dinding pembatas dua danau yang berdampingan juga demikian. 


Perubahan warna air danau tercatat dari tahun 1915 - 2011, Tiwu Ata Polo berubah sebanyak 44 kali. Tiwu Nuamuri Koofai pada periode tersebut mengalami perubahan sebanyak 25 kali. Sedangkan Tiwu Ata Mbupu pada periode tersebut mengalami perubahan yang paling sedikit yakni sebanyak 16 kali (Balai Taman Nasional Kelimutu). Di sana juga ada dokumentasi perubahan- perubahan warna danau. Danau Kelimutu benar- benar anugerah. Saya merasa sangat bahagia sudah melihat secara langsung keajaiban ini.

Matahari semakin terik, menandakan hari semakin siang, saya tersadar kalau ada sopir yang menunggu, tadi dipesan boleh ke Danau Kelimutu asal paling lama 15 menit, kayaknya saya melebihi target waktu yang diberikan. Siapa yang bisa menahan godaan keindahan Danau Kelimutu :D. Masalah sopir urusan belakangan, yang jelas saya sudah puas eksplor Danau Kelimutu, walaupun gagal melihat sunrise.

Saat saya tiba di parkiran, semakin banyak kendaraan yang terparkir, mereka baru bersiap- siap trekking ke danau. Mobil yang saya tumpangi terkunci, seperti yang saya duga, sopir menunggu di warung yang saya maksud tadi, menunggu sambil menyeruput kopi. Saat melihat saya dia tersenyum (Alhamdulillah pikir saya, dia tidak marah). Sebelum melanjutkan perjalanan saya sempatkan dulu mengisi perut, walau hanya dengan mie instan.


Kain tenun khas Flores
Mata sudah puas, perut aman, Pak Sopir juga kelihatannya baik- baik saja, semua terkendali. Sekarang mari lanjutkan perjalanan ke tempat berikutnya, Kota Ende!




Senin, 22 September 2014

Surga Tersembunyi *Eksplor Flores - Wae Rebo*

Yess! Yess!
Akhirnya, pendidikan PPCPAK 2 selesai, ujian juga selesai, Alhamdulillah lulus, sekarang sisa tunggu penempatan. Dannnnnn yang membahagiakan lagi tiket ke Flores PP juga sudah ditangan :D.
Ini trip impian, sudah setahun silam direncanakan selalu gagal...gagal...dan gagal, tapi tidak kali ini.
Tempat pertama yang kami kunjungi itu Kab. Sikka, tepatnya Kota Maumere, pengen sih eksplor Maumere juga, apalagi pas diperjalanan ketemu junior kampus dan dia nawarin kita nginap di rumahnya, lumayan free. Tapi karena Maumere hanya tempat 'pendaratan' untuk melanjutkan perjalanan ke kota- kota eksotik lain di Flores, jadi kami tolak tawaran yang cukup menggiurkan itu. Oh ya, kali ini aku eksplor Flores hanya berdua dengan temanku, teman cewek,  teman dari jaman SMP, teman SMA, eh kuliah sekampus lagi, sejurusan pulak! Ckckckck si Hartil ngintilin aku terus :D. Banyak yang takjub bercampur shock mendengar kami hanya berdua, wanita pula, ke Flores hanya untuk main, katanya kami nekat. Iya juga sih, tapi kalau dipikir- pikir, masa kami kalah sama cewek  bule yang dari entah negeri mana , kita kan masih sama- sama dari Indonesia, masih satu Indonesia Tengah lagi!

Well...kita lanjuttttt ke perjalanan, dari Maumere ke Ende, mampir di Danau Kelimutu (ini akan kuceritakan di tulisan berikutnya) dan selanjutnya di Ruteng, Kabupaten Manggarai. Nah, yang kumaksud 'surga tersembunyi' itu ada di sini, Perkampungan adat Wae Rebo!. Yupp.....karena waktu terbatas jadi destinasi kita pilih-pilih secermat mungkin, demi ke Wae Rebo kami rela menunda ke Pulau Komodo, padahal katanya nggak afdol ke Flores kalau belum ketemu komodo, ah bodoh amat, kami ada pertimbangan tersendiri. Pulau Komodo letaknya di ujung barat Pulau Flores, lumayan dekat dari Makassar, kapan- kapan kalau ada duit bisalah ke Flores lagi special ke Pulau Komodo, bahkan bisa menggunakan libur akhir pekan. Nah, Wae Rebo ini letaknya di tengah- tengah Flores, jadi kalau kami tunda ke sini nanti kalau mau ke sini lagi membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang lebih juga. Iya kan? :D

Tanggal 5 September kita sampai di Kota Ruteng, Kabupaten Manggarai. Perjalanan dari Kota Ende kita tempuh selama kurang lebih 7 jam dengan menggunakan bus. Kami sempat mampir di Nangaroro, Kabupaten Nagekeo untuk bertemu dengan teman di jaman bangku kuliah (seolah- olah tua padahal baru lulus 2 tahun,ha ha). Rofinus (teman kami) memberi wejangan alur perjalanan mengenai tempat- tempat yang akan kami kunjungi. Lumayan, bayangan tentang tempat- tempat itu jadi semakin jelas. Asyik banget, tempat kami ngobrol viewnya keren, pantes ada beberapa bule yang mampir buat foto- foto. Orang sana menyebut tempat ini 'Puncak Nangaroro'.
Puncak Nangaroro
Kami sampai di Kota Ruteng pukul 18.20 WITA, langsung diantar ke hotel, kami menginap di Hotel Dahlia, pas buat kantong dan tempatnya nyaman juga bersih. Biaya menginap semalam Rp. 150.000/kamar bisa diisi 2 orang. Oh ya, dari Nangaroro ke Ruteng kami bayar bus Rp. 100.000, padahal kata Rofinus cuma Rp. 70.000, huuuu dasar sama orang baru tega banget, langsung kedeteksi kita bukan orang sono sih (>,<).

Sesampai di hotel kami ibadah sholat magrib dulu, setelah itu berjalan- jalan di Kota Ruteng untuk lihat- lihat keadaan sekaligus mencari makan, terakhir makan kemarin malam di Kota Ende, menyedihkan ya, hiks... habis bus nya nggak mampir- mampir makan, jadi kami ala- ala bule hanya makan roti dan minum susu. Untung di kota ini terdapat cukup banyak warung Padang, Alhamdulillah bisa balas dendam :D. Kami sempat nyasar- nyasar, salah blok, pas nyadar kok jauh banget belum nemu warung Padang, padahal tadi waktu diantar sopir bus ke hotel, tidak jauh dari hotel banyak berjejer warung Padang. Setelah mutar- mutar sampai nemu pasar malam, kami putuskan bertanya saja, lapar membuat navigasi kami memburuk :D, daripada menjadi korban malu bertanya sesat di jalan terlalu lama, mending bertanya secepatnya. Berdasarkan petunjuk dari seorang bapak akhirnya kami sampai juga di warung Padang. Karena mau makan kalap (kan mau balas dendam :D) jadi makan malamnya dibungkus saja. Setelah membeli makan malam kami mampir membeli perbekalan buat besok ke Wae Rebo, sialnya lagi kami bawa uang pas- pasan, dompet sengaja ditinggal di kamar, alhasil kami belanjanya hati- hati sekali, malu kan pas dikasir uangnya nggak cukup,heheh.

Proses balas dendam (makan malam :D) selesai, kami sholat dulu dan langsung istirahat. Oh ya, supaya istirahat optimal tanpa gangguan, kami sepakat mematikan HP masing- masing. Mungkin faktor lelah dan suhu Ruteng yang lumayan dingin kami terlelap denagn cepat.

Keesokan harinya terbangun saat alarm kami berbunyi mengingatkan sholat subuh telah tiba. Setelah sholat, walaupun udara dingin menusuk- nusuk, terpaksa saya beranikan diri untuk memulai mandi duluan. Pukul 07.30 kami sudah siap untuk check out dan menuju ke terminal Ruteng untuk menunggu bus yang bisa menagntar kami ke Wae Rebo.

Dengan naik ojek Rp. 10.000 kami sampai di Terminal Kota Ruteng. Wah, ramai juga terminalnya. Dari informasi yang kami dapatkan, kendaraan yang menuju Wae Rebo hanya sekali berangkat dalam sehari, makanya kami mending menunggu di terminal daripada ketinggalan. Dan katanya angkutan umum yang ke Wae Rebo hanya  truk yang dimodifikasi diberi tempat duduk jadi kami sempat ragu pas ada kernet bus yang menawari kami ke Wae Rebo, aduh jangan sampai salah angkutan, setelah meyakinkan beberapa kali bahwa bus ini benar- benar ke Wae Rebo kami baru mau naik ke bus, wajar kan harus waspada :D. Untung tidak menunggu penuh dan bus ini berangkat. Alhamdulillah bisa lebih cepat sampai di Wae Rebo. Bye... bye... Terminal Kota Ruteng, besok Insha Allah kami datang lagi.
Gerbang depan Terminal Kota Ruteng (tuh kelihatan kan truk modifikasi yang aku maksud tadi)


Naik....naik.....ke puncak gunung,
Tinggi....tinggi sekali...
Nah, itu tema perjalanan menuju Wae Rebo. Pemandangannya asri, indah sekali. Gunung di sana- sini, tapi beeeeehhh......jalur jalannya itu lho! Kayak labirin ular yang berkelok- kelok. Sejak dari Maumere jalannya memang seperti, kata sopir di Maumere, Pulau Flores dijuluki pulau ular karena jalannya yang berkelok- kelok. Bahkan ada tempat sebelum daerah Aimere (lupa kabupaten mana, kayaknya Kabupaten Ngada) yang dinamai tikungan seribu. Jalur yang seperti itu serasa tidak berefek karena pemandangan yang luarrrrrrr biasa. Saya sempat cemburu, kenapa daerah saya tidak seindah Flores, Tuhan seperti menjatuhkan segala keindahan di Flores, hehehhe.
Setelah 2 jam perjalanan saya menanyakan kepada sang sopir kapan kita tiba di Wae Rebo, dan katanya 'Masih jauh Nona!' sambil tersenyum. Appaaaa? Masih jauh? Saya sempat shock, untung teralihkan dengan pemandangan yang indah. Setelah mendaki gunung lewat di lembah, kita tiba- tiba sampai di pantai. Masya Allah, kurang apa lagi, di sini semuanya ada. Pantainya tidak berpasir tapi bebatuan, bersih tidak ada sampahnya. Katanya ini Pantai Dintor. Tidak sampai di situ, kami tambah histeris waktu kami melihat pulau, ah..benar- benar indah tempat ini. Pulaunya beda denagn pulau yang biasa kami lihat, pulau itu menyerupai batu raksasa indah yang tenggelam di lautan, aduh susah kujelaskan dengan kata- kata. Kami sempat berhenti sejenak, karena ada penumpang yang mau beli ikan, anugerah bagi kami bisa narsis dulu dengan latar Pulau Mules (nama pulau yang mengagumkan tadi). Cekidottt....


Pulau Mules aka Nuca Molas



Suatu saat harus ke Pulau Mules, camping di sana pasti seru. Konon di sana banyak rusa tutul. Wah, menyenangkannya, suatu saat Insha Allah.
Kita move on dari Pulau Mules dan melanjutkan perjalanan  ke tujuan utama, Wae Rebo!. Setelah disuguhi pantai dan Pulau Mules yang menyita hati, kembali lagi kita disuguhi hamparan pegunungan di mana di kaki gunung terdapat persawahan warga, ah indah sekali. Tadi ada penginapan di tenagh sawah yang ada tulisan Wae Rebonya, pasti Wae Rebo sudah tidak jauh dari sini, pikir saya. Karena terbius pemandangan yang indah tidak terasa (sebenarnya sih berasa :D) kita sudah sampai di Wejang Asih, tempat peristirahatan sebelum melanjutkan perjalanan ke Wae Rebo. Kami pikir ongkos bus ini standar Rp. 100.000 bahkan lebih saking jauhnya, hampir 5 jam perjalanan, eh ternyata Rp. 60.000, Alhamdulillah, baik sekali orang ini padahal kalau dia bilang lebih kita pasrah saja dan bisa saja dia menipu kami. Terimakasih sopir yang baik, kamu manis deh :D. Karena sopir bus yang baik ini, kami menanyakan besok dia lewat jam berapa untuk berangkat ke Kota Ruteng, waowwwwww dia lewat Wejang asih jam 2 - 3 dinihari, saya merasa pesimis bisa menjangkaunya. Baiklah, lihat besok saja, yang jelas kami pesan dulu kalau dia lewat untuk mengecek kami di wejang Asih.

Istirahat sejenak di Wejang Asih dan melaksanakan shalat dhuhur dijama' azhar karena akan melakukan perjalanan jauh. Di sana kami disuguhi kopi manggarai, mungkin karena saya bukan penikmat kopi jadi saya tidak mengerti bedanya dengan kopi dari daerah lain, tapi enak. Kami disarankan untuk menyimpan barang- barang yang kiranya tidak digunakan di Wae Rebo sehingga meringankan beban kami, mengingat untuk menjangkau Wae Rebo, kami harus mendaki sekitar 3-4 jam, bahkan Ibu Wejang Asih mematok waktu yang lebih lama buat kami, aduh Ibu belum kenal kami sih :D, bukannya sombong, Insha Allah karena kami sudah terbiasa dengan pendakian kami kayaknya bisa kok ke sana dengan target 3-4 jam. Apalagi katanya kami hanya berdua sesama wanita tanpa dampingan guide lokal. Kami memang sengaja tidak menyewa guide lokal, karena hasil wejangan Rofinus katany ajalurnya sangat jelas, jadi aman (dan untung
nggak ambil guide :D). Di Wejang Asih kami bertemu 2 orang wisatawan lokal (sebenarnya sih yang satu bule, tapi bule WNI, indo gitu) yang mereka berdua cewek juga, jadi buat kita why not?. Dan saat kami mau berangkat datang seorang bule cowok, sombong banget dia cuma mau ngobrol sama cewek indo itu, huuuuuu dasar.
Ah, lupakan bule songong itu mari pamitan ke Ibu Wejang Asih dan 2 cewek tadi dan mulai petualangan yang sebenarnya :D. Jalan menuju ke Wae Rebo, sama dengan jalan kalau kita mau mendaki gunung. Tapi ada beberapa pekerja yang sedang melakukan pekerjaan jalan, wah jangan sampai mau dibeton sampai Wae Rebo, ckckkckc sudah tidak seru dong!. Jalan semakin mendaki, jalan terdiri dari jalan pengerasan. Ini nih jalannya, maaf ya ada objeknya, lupa moto jalanannya saja :D.
Jalan pengerasan menuju Wae Rebo

Jalan pengerasan ini hanya sekitar 1-2 km, selanjutnya kita mulai memasuki hutan, jalurnya sama dengan hutan- hutan pada umumnya. Benar kata Rofinus, tidak perlu pakai guide, karena ada petunjuknya kok dan jalur cuma satu. Kami mulai lelah dan memutuskan untuk beristirahat sejenak.
Setelah merasa sudah fit kami melanjutkan perjalanan. Semakin mendaki dan jalan semakin menyempit. Kami bertemu beberapa orang warga Wae Rebo yang hendak ke Desa. Mereka kaget juga melihat kami berdua tanpa guide, kami hanya senyum- senyum. Tidak lama kemudian kami bertemu dengan wistawan yang sudah turun gunung dari Wae Rebo, saya lupa mereka dari mana, he hehe.... Kita semakin berada di ketinggian, mulai kabut. Mungkin di tempat ini rawan jadi diberi pagar besi.


Jalan yang diberi pagar besi
Di sini kami istirahat lagi, kami sudah menempuh 3 jam perjalanan. Menurut hitungan kami, Wae Rebo sudah dekat, semoga!. Pas ngobrol ada suara orang yang naik mendekat ke arah kami, saat menoleh ke suara tersebut yang muncul adalah....bule songong tadi di Wejang Asih. Gila, cepat banget jalannya, walaupun dia terlihat kelelahan dan ngos- ngosan dia terlihat keren (lupakan dulu kalau dia songong). Saat dia lewat di ahdapan kami, teman saya menyapanya, saya memilih diam, sudah ilfil duluan. Padahal tadinya kami sudah mau memulai perjalanan, tapi kami putuskan untuk melewatkan si bule duluan di depan, tunggu sampai kami merasa dia cukup jauh baru kita mulai perjalanan. Malas kan sudah kita dalam kondisi capek mesti harus berhadapan denagn orang songong. Nanti merubah mood kita lagi . Sepuluh menit kemudian, saat kami rasa si bule sudah jauh kami mulai melanjutkan perjalanan.
15 menit kami berjalan kami mendapati si songong, dia terengah- engah. hahahahha tadi dia mungkin kelelahan tapi gengsi mau istirahat.
Ajaib! Dia senyum. Aduh, seperti luluh, akhirnya kami mengobrol. Terjawab sudah, si bule kira kami tidak bisa bahasa Inggris (nggak bisa- bisa amat sih, tapi nyambung kok diajak ngomong, hehehe) jadi dia cuma ngajak ngobrol cewek indo di Wejang Asih tadi. Baiklah, karena kamu manis dan sopan juga, apalagi saat dia tahu kalau kami sudah lulus kuliah, dia sangat sopan karena ternyata kami lebih tua darinya. Dia dari Jerman dan saat ini dalam setahun akan menetap di Australia. Kami melanjutkan perjalanan dan akhirnya sampai di sebuah bangunan, dari sini sudah terlihat bangunan unik rumah adat Wae Rebo, orang menyebutnya Mbaru Niang yang artinya rumah kerucut. Sebelum diterima sebagai tamu kita dilarang mengambil gambar.
Mbaru Niang dari kejauhan
Foto di atas saya ambil keesokan paginya saat hendak pulang. Kami tiba sekitar pukul 17.30 WITA. Katanya kita harus memberi tanda kedatangan kita terhadap warga Wae Rebo dengan memukul kentongan bambu, sehingga pemuka adat bersiap diri menerima kami. Kami bersama si bule tadi mencari- cari di manakah kentongan bambu tersebut atau setidaknya benda yang menyerupainya. Pencarian nihil, kami sudah menghabiskan 15 menitan di tempat itu. Daripada semakin berlarut- larut kami putuskan langsung saja turun ke Wae Rebo :D. Sudah hampir sampai di Mbaru Niang kami melihat ada semacam pintu masuk yang terbuat dari bambu, kami pikir ini yang harus kami pukul. si Bule inisiatif cari benda yang bisa digunakan untuk memukul tiangnya. Setelah dia coba tidak ada yang terjadi, tidak ada yang menyadari kehadiran kami. Hahahahhaha......saat itu kami kebingungan entah apa yang akan kami lakukan. Saat kami berbingung- bingung ria, akhirnya ada Bapak yang melihat kehadiran kami dan dia melambaikan tangan memanggil kami.

Senangnya bukan main, kami langsung menyerbu ke arah Bapak tadi ke Mbaru Niang yang paling besar, rupanya Bapak ini Pemuka Adat yang bertugas menerima tamu. Setelah masuk ke dalam Mbaru Niang (celingak- celinguk melihat isi rumah) kami dipersilakan duduk dan mendapatkan 'ceramah' kenapa tidak memukul kentongan bambu yang sudah disediakan. Kami bilang kami tidak tahu, kata Bapak kentongannya ada di bangunan yang di atas (Oh, tempat kami berunding tadi dan mencari kentongan itu, tapi nggak ketemu- ketemu). Kami refleks bertanya ini itu tentang Wae Rebo, dan Bapak bilang kita harus minta izin dulu ke arwah leluhur Wae Rebo baru bisa tanya- tanya dan foto- foto. Kita diharuskan membayar biaya penerimaan tamu, seikhlasnya tapi kami kemarin dimintai Rp. 50.000. Setelah kami membayar si Bapak teriak- teriak dalam bahasa Manggarai, katanya Bapak itu meminta izin kepada arwah leluhur Wae Rebo untuk mengizinkan kami diterima di Wae Rebo dengan menyebutkan nama kami masing- masing dan asal daerah kami.
Dan terjadilah sesi tanya jawab. Setelah puas bertanya, oleh Ibu di Mbaru Niang inti tadi kami diarahkan ke Mbaru Niang yang lainnya yang dikhususkan untuk tamu.


Mbaru Niang
Tidak lama kami di guest house, kentongan berbunyi tanda ada tamu lagi. Hahahhaha cuma kami rupanya tamu yang tidak menemukan kentongan itu, kami berjanji besok saat pulang akan menemukannya. Di guest house juga sedang ada tamu, bukan pwlancong seperti kami, tapi dari instansi pemerintah yang melakukan peninjauan untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga hidro dari ITB. Ada 5 orang. Ternyata tamu yang baru datang bule yang sempat kami lihat di terminal, mereka ber-5, 3 orang wisatawan asing dan 2 orang guide lokal. Guest house ini bisa menampung 30-40 orang. Dalam guest house sudah tertata rapi tikar- tikar dengan bantalnya untuk tempat tidur tamu, kita juga diberi selimut, bahkan kami dapat 2 selimut masing- masing orang. Semua tidur dalam satu ruangan tanpa sekat, dengan begini mungkin bisa mengakrabkan sesama wisatawan, hahhaa. Sudah pukul 18.15 WITA, waktunya shalat magrib, tidak ada bunyi adzan yang bisa mengingatkan, rindu juga kumandang adzan, yang biasanya bersahut- sahutan saat senja.

Saya sangat kedinginan sampai- sampai menggigil, denagn sigap bule yang tadinya saya bilang songong memberikan jaket miliknya, katanya dia tidak membutuhkannya. Kaget juga, ternyata bocah ini baik hati dan ganteng rupawan,hahahha. Setelah saya pakai jaket si bule saya merasa baikan. Kami mengobrol tentang diri masing- masing sambil menunggu teman saya yang ke kamar kecil. Sempat menggigil lagi, si bule meraih tasnya, ternyata dia punya stok 2 jaket, dan dia memberikannya lagi buat saya. Ah, baik sekali, tadi sempat salah paham. Dengan 2 jaket ditambah 2 selimut saya merasa nyaman sekali :D. Setelah teman saya datang, kami putuskan mengisi malam ini dengan main kartu dan saling bertukar kisah hidup. Setelah beberapa kali sesi main kartu akhirnya kami mengakhirinya karena harus beristirahat karena pagi- pagi kami sepakat bersama- sama turun gunung.  Dan sebelum tidur jangan lupa shalat Isya :D. Rombongan bule yang satu masih asyik bercengkrama denagn guide lokal mereka sambil merokok menghangatkan badan.

Alarm berbunyi, 05.15 WITA.. Setelah sholat subuh kami melihat seisi guest house, masih terlelap dengan mimpi masing- masing. Jadi kami duduk- duduk melihat gaya tidur setiap orang. Mau keluar masih agak gelap. Sebenarnya tidur saya semalam juga tidak nyenyak dan sering terbangun. Sembari menunggu matahari kami merapikan barang bawaan kami, supaya saat hendak pulang tidak terlalu banyak yang mesti dibenahi. Matahari sudah mulai menyeruak, sudah agak terang di luar sana, kami putuskan untuk melakukan sesi pemotretan,hahahahha.....sebelum penghuni guest house yang lainnya bangun, kan kita nggak konsentrasi nanti pemotretannya :D.


SELAMAT PAGI WAE REBO!


Mbaru Niang
Indah sekali, Wae Rebo benar- benar surga yang tersembunyi. Butuh perjuangan besar untuk bisa melihat surga tersembunyi ini. Warganya masih memegang teguh peraturan adat sehingga kehidupan mereka sangat harmonis. Ah, beruntungnya kami bisa melihat langsung surga ini. Andaikan kami punya banyak waktu akan kami sempatkan untuk berkeliling sekitar Wae Rebo yang asri ini. Semua pengorbanan dibayar lunas. Suatu saat jika diberi kesempatan, bolehlah ke sini lagi. Semoga Wae Rebo tetap terjaga keasliannya, semoga tidak terusik dengan dunia luar. Semoga pembangunan jalan yang kami jumpai kemarin hanya sekedar mempermudah akses menuju hutan, jangan sampai dibangun jalan sampai di Wae Rebo, memang tujuannya bagus, wisatawan dipermudah aksesnya menuju Wae Rebo, tapi saya lebih senang Wae Rebo yang sekarang ini.

Setelah puas dengan sesi pemotretan, kami kembali ke guest house. Tamu dari instansi pemerintah sudah bangun, sepertinya mereka bersiap untuk melanjutkan tugas mereka, melakukan survei untuk rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga hidro. Rombongan bule Prancis juga sudah bangun, teman kami yang bule Jerman juga sudah bangun, bahkan dia sudah berkemas. Tidak lama Mama- mama (panggilan untuk orang tua perempuan) datang menyiapkan sarapan buat kami. Tidak ketinggalan kopi Manggarai :D. Selesai sarapan Teman kami pamit duluan, dia mau berangkat bersama kami, tapi kami belum siap- siap dan dia mengejar waktu karena harus berkendara selama 7 jam untuk sampai Labuan Bajo. Hati- hati kawan, semoga bertemu di Labuan Bajo.

Tidak lama sepeninggal orang Jerman itu, kami juga bersiap- siap berangkat. Tadi saya sempat menguping kalau bule Prancis akan menyewa mobil ke Ruteng, jadi sebelum berangkat saya tanyakan kebenarannya, lumayan kalau bisa sharing cost, mengingat di sini semua serba mahal. Dan kami sepakat untuk menyewa mobil bersama sampai Kota Ruteng. Kami berdua berangkat duluan, kami sepakat bertemu di Wejang Asih. Setelah membayar biaya penginapan sebesar Rp. 250.000/org/malam kami memulai perjalanan.

Di Wae Rebo juga terdapat perpustakaan yang bangunannya juga berbentuk mbaru niang, kami tidak sempat ke sana karena harus bergegas pulang. Tidak lupa kami sempatkan mampir di bangunan di atas sebelum masuk Wae Rebo, mencari kentongan bambu yang membuat kami penasaran, astagaaaaaa.....kentongannya ada kok! Bisa- bisanya kemarin kami tidak melihatnya. Mungkin karena capek jadi kami tidak teliti.

Kalau kemarin perjalanan ke Wae Rebo kami tempuh selama 3,5 jam, untuk perjalanan pulang kami hanya membutuhkan waktu tidak sampai 2,5 jam itupun beberapa kali beristirahat menikmati pemandangan. Sepanjang perjalanan pulang kami juga berpapasan wisatawan lokal kurang lebih 10 orang yang baru naik ke Wae Rebo. Sesampai di Wejang Asih, belum istirahat, kami dapat kejutan. Di sana ada 2 tukang ojek yang menunggu kami. Kata Ibu Wejang Asih kami kemarin minta dipesankan ojek, padahal Ibu Wejang Asih kemarin menyampaikan kepada kami kalau tidak ada bus ke Ruteng bisa naik ojek bayar Rp.200.000, kami tidak mengiyakan. Ya mau dikata apalagi, padahal kita sudah dapat teman untuk carter mobil, terpaksa kita kembali ke Kota Ruteng dengan naik ojek Rp.200.000. Lain kali semuanya harus diperjelas supaya tidak terjadi salah paham :D. Pelajaran lagi.

Karena shock saya sudah malas mandi, nanti saja sekalian di Labuan Bajo. Padahal saya kemarin di bus kehilangan uang :(, terpaksa saya menceritakannya ke Ibu Wejang Asih.. Ibu Wejang Asih kasihan jadi dia tidak memungut biaya dari kami untuk kopi Manggarai yang kami minum dan biaya penitipan barang. 
Sudahlah, lupakan yang buruk- buruk, toh kita sudah disuguhi surga yang tersembunyi. Setelah melaksanakan sholat dhuhur kami pamit ke Ibu Wejang Asih.
Perjalanan ke Ruteng menggunakan ojek kami tempuh selama 3 jam. Sampai di Ruteng kami minta diantar ke terminal untuk mencari bus tujuan Labuan Bajo. Alhamdulillah busnya belum berangkat.
Besok hari terakhir di Labuan Bajo sebelum kembali ke Makassar. Semoga ada kisah lebih indah di sana.








Minggu, 14 September 2014

Salam Merdeka dari Ketinggian (Gunung Bulusaraung 1353 mdpl) #telat posting


Sudah beberapa tahun belakangan ini bergelut di dunia ketinggian (naik gunung :D) tidak pernah merayakan momen- momen penting kalau naik gunung. Biasanya para pendaki gunung pada momen- momen tertentu seperti tahun baru, 17 Agustus, Sumpah Pemuda, dan momen- momen penting lainnya (bagi mereka) mereka rayakan di ketinggian entah di gunung mana, jadi pada momen- momen tersebut beberapa gunung akan padat dikunjungi. Nah perayaan momen penting di atas ketinggian yang akan saya bahas kali ini adalah momen 17 Agustus di gunung.
Rencana awal, saya akan merayakan 17 Agustus 2014 di Lembah Ramma atau Gunung Bawakaraeng bersama teman- teman saya. Tetapi karena teman- teman saya tiba- tiba ada agenda lain :( jadi saya putar haluan bergabung bersama junior saya untuk melakukan pendakian di Gunung Bulusaraung Kab. Pangkep, Sulawesi Selatan. Walaupun tidak tinggi- tinggi amat, kita juga bisa melihat pemandangan yang tidak kalah bagus dengan gunung yang lebih tinggi.


Pendakian kali ini terdiri dari 6 orang tim, saya sendiri, Rere, Ayu, Juned, Manyu dan Rio. Kami berkumpul pukul 18.00 WITA di depan gapura Soreang (jalan menuju desa terakhir Bulusaraung). Perjalanan sampai desa terakhir kami tempuh kurang lebih 2 jam menggunakan sepeda motor. Jalan yang berliku- liku menanjak dan sudah gelap (tanpa lampu jalan, hanya lampu motor kami) menambah suasana horor perjalanan (hahahah horor!) apalagi saya dibonceng Rere, dan ini adalah pengalaman pertama Rere mengendarai motor di medan seperti ini dan mengingat fakta lain kalau berat badan saya beda 10 kg dengan Rere (takut banget motor jadi jomplang apalagi jalanan menanjak) dan Rere baru bisa mengendarai motor saat hampir lulus kuliah (baru 1-2 tahun ini), Oh My God!! Seperti mempertaruhkan nyawa! Sepanjang perjalanan saya tak henti- hentinya berdzikir buat keselamatan kami. Yang benar saja Rere seberani ini, padahal tadi Juned menyarankan buat membonceng saya dan Rere dibonceng Manyu. Setiap ada tikungan tajam Rere hampir menabrak tebing, ckckckckckck benar- benar mendebarkan. Setelah drama perjalanan kurang lebih 2 jam, akhirnya kami sampai di desa terakhir Bulusaraung, yakni Desa Tompobulu.


Tuh liat aja tikungan tajamnya yang naudzubillah! Gambar ini diambil keesokan harinya saat perjalanan pulang

Setelah parkir motor (bussettttttt parkiran full sampai menggunakan halaman warga sekitar) dan melapor di pos serta membayar biaya parkir dan biaya masuk (3rb/orang, 1 motor juga dihitung  1 orang). Kami bersiap- siap melakukan pendakian, harus dilakukan malam ini karena 'kompleks perumahan' dikhawatirkan full :D. 
Bismillahirrahmanirrahim, perjalanan kami mulai. Baru beberapa menit perjalanan kami sudah sampai di pos 1 jalurnya masih landai melewati kebun warga. Tanpa istirahat kami melanjutkan perjalanan di pos 2, nah di sini sudah mulai nanjak- nanjak. Eh, ternyata tim ada yang ketinggalan, jadi kami menunggu di pos 2. Beberapa menit kemudian tim yang belakangan sampai pos 2. Istirahat 1-2 menit, kemudian kami lanjutkan perjalanan.

Jalur dari pos 2 menuju pos 3 sudah mulai pendakian dan hampir tidak ada bonus. Luar biasa ngos- ngosan, apalagi sudah tidak pernah olahraga belakangan ini dan pendakian terakhir pas tahun baru kemarin, ditambah umur yang sudah tidak muda lagi sudah 24 tahun, ckckck. Oh ya, Gunung Bulusaraung ini gunung pertama yang saya daki lho di tahun 2010, dan ini keempat kalinya saya kemari dan setiap ke sini pemandangannya tidak sama, saya harap kali ini bisa lebih bagus dari yang kemarin- kemarin.
Kembali ke jalur pendakian :), jalur masih dan semakin menanjak tapi sesekali ada bonus, udara juga semakin dingin menandakan bahwa kita semakin beranjak ke ketinggian. Lagi- lagi tim terpisah menjadi dua bagian, saya dan Juned ada di depan dan sisanya di belakang. Karena jika istirahat terlalu lama membuat saya jadi malas, jadi diputuskan tim dibagi menjadi 2, saya dan Juned duluan untuk mengejar sisa- sisa lahan buat mendirikan tenda dan yang lainnya menyusul.

Ngos- ngosan membuat saya tidak lagi memperhatikan tiba di pos berapa, yang jelas masih di jalur jalan- jalan saja, heheheh... Dan Alhamdulillah akhirnya sampai juga setelah melewati perjalanan kurang lebih 3 jam, belum sampai di pos 9 (lokasi camp) sih, 100m sebelum pos 9 kami putuskan untuk mendirikan tenda di sana, karena di daerah situ sudah ada beberapa tenda yang berdiri yang menandakan pos 9 sudah penuh sesak. 
Luar biasa tenaga Juned, tanpa beristirahat dia langsung membersihkan area tempat kami akan mendirikan tenda. Saya hanya membantu dengan menyenteri Juned (maklum, senior itu nyantai saja, wkwkwk). Tidak lama setelah area itu bersih dan Juned mengeluarkan tenda dari carrier nya rombongan 2 datang dan bersama- sama kami mendirikan tenda.
Setelah tenda berdiri, barang- barang bawaan dirapihkan, saya putuskan untuk langsung beristirahat, kawan yang lain ada yang masih mau makan malam, rencana besok kami mau muncak saat sunrise.


Teori memang tidak sama dengan praktiknya, hahahhaha....... Mungkin faktor kelelahan kami kesiangan untuk melihat sunrise, hahahah akhirnya kami putuskan untuk muncak setelah upacara 17 Agustus, mengingat puncak Bulusaraung yang kecil dan hanya bisa menampung sedikit orang. Sambil mengisi waktu, seperti biasa ritual di pagi hari ngopi dan ngeteh. 
Tenda kami
 Pukul 08.30 kami bergegas ke puncak, dengan membawa perbekalan secukupnya seperti air minum dan sedikit makanan ringan. Benar saja di pos 9 sangat padat dengan tenda para pendaki, sampai- sampai jalur menuju puncak dan jalur menuju sumber air tidak jelas karena tertutup tenda.
Area camp yang penuh

Kembali lagi ngos- ngosan menuju puncak. Jalan cukup terjal terdiri dari bebatuan yang basah sehingga licin, dan antrian yang cukup padat oleh lalu lalang pendaki baik yang baru akan ke puncak maupun yang sudah turun dari puncak. Entah bagaimana proses upacara 17 Agustus di atas puncak, kami melewatkan momen ini. Setelah melewati jalur yang cukup sulit selama kurang lebih 20 menit kami sudah sampai di atas, tapi belum sampai di triangulasi gunung Bulusaraung karena luarrrrrrrr biasa antriannya, sekarang kita menunggu pinggiran gunung dan tentunya kita harus tetap waspada karena ada bebatuan yang labil dan angin yang bertiup cukup kencang serta udara yang sedikit dingin.
Antrian menuju triangulasi

Untung pemandangan sedang bagus- bagusnya, jadi sambil menunggu bolehlah jepret sana- sini.
Juned mengibarkan slayer kebanggaan kami di atas awan

Tim tetangga yang sudah tidak sabar jadi mereka mengibarkan bendera sambil menunggu giliran, hehhee..





Tim kami minus Rio, ala- ala model cover majalah gitu, wkwkwk

Saya dengan si pinky, ini pengalaman pertama pinky naik gunung lho



















Setelah menunggu sekitar 1,5 jam akhirnya kami dapat giliran ke triangulasi. Sebenarnya sih kalau tergantung kitanya, kalau kita tidak sabar, bisa saja dari tadi kita menyerobot, tapi kan kita harus menjadi pendaki yang beretika :D.
MERDEKA!!!!!!! Dirgahayu Indonesiaku! Salam hijau damai lestari!
Well, akhirnya bisa mengucapkan merdeka di ketinggian. Di dekat triangulasi ada bendera merah putih ukuran sangat besar yang dibentangkan. Masih banyak pendaki- pendaki lainnya yang sibuk dengan prosesi pemotretan dengan atribut organisasi masing- masing.
Narsis dibalik tim bola :)
Berkibarlah Sang Merah putih!

Setelah puas melakukan sesi pemotretan di puncak Gunung Bulusaraung, kami sepakat turun ke camp untuk mengisi perut dan prepare turun gunung. Perjalanan turun kami tempuh lebih cepat daripada perjalanan ke puncak tadi.
Sesampai di camp kami para wanita langsung sigap dan mengerti apa yang harus kami lakukan, terjadilah apa yang harus terjadi, memasak! hahaha...... ini salah satu momen yang paling saya sukai saat naik gunung, karena hanya saya lakukan saat naik gunung saja :).

Calon Ibu- ibu yang baik bukan :D

Setelah makanan ala kadarnya yang kami buat telah siap, maka kami makan dengan khidmat (kayak upacara saja,wkwk). Untuk sesi makan, no dokumentasi, biasa... sudah jadi rahasia umum kalau pada sesi makan, yang imut jadi amit dan yang sabar jadi kalap, no jaim! heheheh...
Dalam sekejap semua makanan bim salabim hilang tiada rimbanya, hahaha.... Perut kenyang, istirahat sejenak dan kemudian packing. Perjalanan pulang akan lebih ringan dari perjalanan semalam karena medan menurun sehingga tenaga yang dibutuhkan lebih sedikit daripada saat mendaki sehingga waktu tempuh juga lebih sedikit.
Setelah 1,5-2 jam Alhamdulillah kami sampai dengan selamat di desa terakhir. Sekarang waktunya melapor ke pos jaga kalau tim kami telah tiba. Dan.... bye... bye.... Bulusaraung, semoga ada kesempatan berkunjung lagi. Sekarang saya musti melewati jalur berkelok- kelok lagi dengan sepeda motor :(

Sabtu, 13 September 2014

Pasang behel? Pikir- pikir dulu cin!!

Hoaammmmm........ blog ini sudah penuh dengan sarang laba- laba..
Maklum wanita karir, sibuk, hehehe ngeles nggak jelas.
Banyak banget yang pengen aku ceritain mulai dari pengalaman hidup di Cirebon selama 1,5 bulan, yang kotanya gila aku suka hidup di kota kecil ini, sampai kisahku eksplor Flores (ini yang paling keren :D).. Tapi ada kisah yang lebih urgent untuk diceritakan. Apa itu? Kisahku dengan teman hidup baruku. Siapa?? Adam Levine? No! Dia sudah bersama Behati :'(, Jake Gyllenhaal? Oh..bukan dia!, Omesh kah?? No...no..
Aduh, terlalu lama, baiklah aku jawab sendiri... aku mau menceritakan kisahku yang masih lebih muda dari umur jagung, tadaaaaaaaaa kisahku dengan kawat gigi!.

 Sumber: Joy Dental

Ini baru 4 hari (lebih muda dari jagung kan :D). Ini karena gigi- gigiku yang seenak jidat bangun kompleks rumah susun di dalam mulut, jadi buat nertipin mereka harus diambil tindakan pemasangan kawat gigi a.k.a behel. Aku kira pasang kawat gigi itu langsung pasang blek, tunggu 1-2 tahun gigi teratur. Ternyata Oh My God! . Saya beri apresiasi setinggi- tingginya buat yang pernah pakai kawat gigi. Kalian luar biasa!.
Bayangin aja, selama beberapa jam mulut kita harus mangap. Mana pas behelnya udah dipasang di hari- hari pertama (seperti yang kualami saat ini) gigi cenat- cenut luar biasa, rasanya pengen langsung udahan pakai behelnya, tapi ingat rusun di mulut yang tidak bisa dibiarkan dan banyaknya uang yang sudah saya gelontorkan untuk pasang pagar atas bawah jadi yah harus sabar. Mau cantik itu mahal dan menyakitkan, jadi jangan mau cantik demi orang lain, cantiklah buat diri sendiri :).
Heran juga banyak orang yang diberi anugerah gigi yang rapih tapi tetap memakai kawat gigi, padahal luar biasa menyiksa dan merenggut indahnya bisa menggigit apapun. Lebih heran lagi lihat orang yang pasang behel abal- abal yang justru bisa membahayak kesehatan mulut dan giginya.

Cenat- cenut ini katanya (kata yang udah pakai behel) istilahnya masih kayak ucapan 'Selamat datang di dunia perbehelan', sakitnya belum seberapa lagi pas gigi dicabut (nggak semua kasus giginya dicabut sih), saat penarikan kawat juga katanya sakitnya juga naudzubillah. Ini aja sejak hari pertama aku sudah seperti bayi tua makan bubur. Hiks sedihnya!.
selain cenat- cenut yang entah sampai kapan dialami, ancaman lain yaitu sariawan. Sampai sekarang alhamdulillah aku nggak sariawan tapi bibirku bussettttttttt kayak lahan kekeringan yang pecah- pecahnya luar biasa. Untung aku pakai behelnya pas libur seperti ini, jadi bisa mendekam di rumah sampai mulutku terbiasa dengan behel dan keluhan- keluhan seperti bibir pecah- pecah sudah enyah.

Memakai behel tidak hanya bermanfaat bagi kesehatan gigi dan estetika gigi, memakai behel juga bisa membantu kita berdiet lho!. Bayangin aja, walaupun nafsu makan segede gaban kalau gigi cenat- cenut, sama aja bohong, nggak bisa makan kita! Hahahah... Saran saya buat yang mau berdiet pasang behel saja, tidak perlu mengkonsumsi obat- obatan yang bahkan justru bisa membahayakan kesehatan. Selain senyum semakin indah, tubuh juga bisa bertambah aduhai :D
Dengan behel juga kita bisa melatih kesabaran, sabar saat melihat makanan favorit di depan mata tapi apa daya tak sanggup mengunyahnya. Tuh kan banyak banget manfaat dari memakai kawat gigi :).
Eh, satu lagi saran saya, kalau mau pasang kawat gigi, sebelum berangkat ke dokter gigi, makan sepuasnya dulu :D